Sabtu, 20 Agustus 2016

Lembaran struk belanjaan itu berharga lhoo brooo

Data adalah tambang emas di tengah abad teknologi informasi ini. Sebuah data bisa membantu perusahaan menyusun strategi bisnis yang tepat. #
Tidak aneh bila kemunculan jasa analisis data kian banyak. Lebih-lebih keberadaan internet yang mempermudah akumulasi data.
Pekerjaan rumahnya tinggal penyajian data-data nan melimpah itu menjadi sebuah informasi yang berguna bagi pengembangan bisnis.
Namun, rupanya tidak seluruh data di jagat maya relevan bagi industri barang konsumsi. Kecanggihan internet tak lantas membuat perusahaan fast moving consumer goods (FMCG) dapat menambang data dari informasi di media sosial dan transaksi pembelian secara online.
Pasalnya, kendati e-commerce tengah booming di negeri ini, mayoritas pembeli masih lebih sering berbelanja di gerai fisik ketimbang online shop. Apa boleh buat, perusahaan FMCG masih bergantung pada hasil riset konvensional seperti Nielsen yang mengumpulkan data secara tradisional.
Selain memakan waktu, penyajian data dengan metode tradisional itu kadangkala sudah tidak cocok dengan kondisi lapangan yang sangat dinamis. Padahal, perusahaan membutuhkan data segar, kalau bisa real-time, supaya mereka bisa menentukan strategi bisnis.
Kapitalisasi struk belanja
Celah inilah yang ditangkap oleh Reynazran Royono. Latar belakang di industri barang konsumsi selama hampir satu dekade membuat Rey, begitu ia disapa, paham betul kebutuhan informasi yang dicari oleh perusahaan FMCG.
Rey akhirnya merintis pembuatan aplikasi yang bisa dimanfaatkan oleh brandbarang konsumsi untuk memonitor perilaku konsumsi secara langsung. Nama aplikasi itu Snapcart, yang bekerja merekam aktivitas belanja konsumen dari data struk belanja.
Biasanya, struk belanja dibuang begitu saja oleh pembeli usai transaksi. “Padahal, di sana banyak data yang bisa kita olah,” kata Rey.
Sebut saja, di antaranya data lokasi toko tempat konsumen belanja, informasi produk yang dibeli hingga cara pembayaran. Termasuk, data efektivitas promosi oleh sebuah merek barang. “Karena di dalam struk, bila ada potongan harga, kan, kelihatan” terang dia.
Lantas, bagaimana cara Snapcart mengakses struk belanja? Snapcart mendekati konsumen langsung melalui iming-iming cashback.
Apabila seorang konsumen mengunggah struk belanja mereka lewat aplikasi ini, ada imbalan berupa cashback  dengan nilai bervariasi, mulai Rp 150 hingga Rp 23.350.
Nilai cashback berbeda-beda tergantung pada jenis barang di dalam struk belanja yang Anda unggah. Bergantung pula pada kerjasama antara Snapcart dan produsen merek.
Oh, iya, cashback yang didapatkan oleh pengunggah struk belanja tidak bisa langsung diuangkan. Pemakai aplikasi perlu mengumpulkan cashback minimal senilai Rp 53.000.
Anda bisa memilih, apakah mencairkan duit cashback itu ke dalam rekening yang telah terdaftar di akun aplikasi. Atau, mengumpulkannya sebagai poin yang kelak bisa diikutkan dalam undian berhadiah.
Snapcart juga mengiming-imingi cashback bagi Anda yang mau menjawab beragam survei lain yang tersedia di aplikasi. Ada pula pilihan selfie dengan produk.
Pengguna aplikasi dapat mengunggah struk dari gerai ritel modern seperti minimarket hingga hipermarket. Tapi ingat, hanya struk berusia kurang dari tujuh hari yang bisa Anda unggah. Lewat dari tujuh hari, struk yang Anda unggah tidak bisa menghasilkan cashback.
Cara mendaftar ke aplikasi ini juga tidak susah. Cukup mendaftar melalui email atau akun Facebook, lalu mengisi biodata.
Misalnya, jenis kelamin, tanggal lahir, domisili, pengeluaran per bulan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan sampai jumlah keluarga yang tinggal serumah dengan Anda.
Rey mengklaim, profil populasi Snapcart dapat lebih akurat karena hanya profil aktif saja yang bisa beraktivitas di aplikasi, yakni pengunggah struk yang menjadi responden.
Ratusan ribu pengguna
Iming-iming cashback agaknya ampuh menarik pemakai aplikasi riset belanja ini. Maklum, orang Indonesia mudah tergiur diskon dan obral.
Tak heran, baru delapan bulan berjalan, aplikasi ini sudah diunduh oleh 150.000 pengguna aktif hingga akhir Mei lalu. Jumlah populasi itu melampaui populasi sampel perusahaan riset seperti Nielsen yang hanya berkisar ribuan saja.
Bagi klien Snapcart, data dari populasi sebanyak itu tentu lebih berharga bila dibandingkan dengan dana yang mereka keluarkan untuk memberikancashback bagi pengguna Snapcart.
Apalagi, bukan cuma olahan data dari struk belanja saja yang ditawarkan pada klien. Snapcart juga menyediakan varian data dan informasi lain tergantung pada kebutuhan klien.
“Klien yang sudah mendukung Snapcart dengan cashback reward akan  mendapat data analytics basic cuma-cuma dari kami,” kata Rey.
Rey enggan mengungkapkan output olahan data yang dikumpulkan dari data struk belanja juga survei-survei yang mereka tampilkan di aplikasi. Yang pasti, data apa pun yang diminta oleh klien, tim Snapcart akan mengolah dan menyajikan dengan akurat secepat mungkin.
Kecepatan atau real time data itu pula yang menjadi keunggulan Snapcart dibanding riset data tradisional. Tujuannya agar si klien bisa dengan cepat memanfaatkan data tersebut dalam menggodok strategi bisnis mereka.
Rey enggan mengungkap tarif riset data yang disediakan oleh Snapcart. Yang jelas, saat ini Snapcart sudah bekerjasama dengan beberapa perusahaanconsumer goods sebagai klien mereka.
Sebelum meluncur ke pasar sekitar September lalu, Rey sudah aktif mendekati perusahaan-perusahaan yang potensial membutuhkan data olahan Snapcart.
Latar belakang karier di industri barang konsumsi memudahkan Rey melakukan pendekatan. “Saya di P&G sekitar sembilan tahun,” kata dia.
Beberapa nama perusahaan FMCG besar, seperti Unilever, Nestle, dan L’oreal, bahkan sudah menjadi klien Snapcart jauh sebelum aplikasi itu meluncur resmi.
Rey berujar, penggodokan konsep Snapcart dirintis mulai Maret 2015. Berbarengan dengan itu, dia tawarkan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan FMCG. 
“Cara pandang ini yang harus diubah para founder startup, mereka harus bisa temukan pasarnya dulu, pendanaan akan lebih mudah didapat,” ungkap Rey yang pernah menduduki jabatan sebagai CEO Berniaga.com ini.
Melihat potensi pasar yang cukup menarik, ada modal ventura yang kepincut menjadi investor Snapcart. Salah satunya adalah Ardent Capital.
Berapa nilai investasi dari sang investor itu, Rey tidak mau membeberkan. Selain Ardent, ada pula Wavemaker Partners, Singapore Press Holding, Sinar Mas Digital Venture dan beberapa angel investor tercatat sebagai penyuntik modal Snapcart.
Pintu masih terbuka bagi investor lain yang tertarik ikut menitipkan modal pada startup pengolah data ini. “Kemungkinan kami buka lagi pendanaan untuk membiayai operasional Snapcart 18 bulan ke depan,” terang dia.
Nah, bila kini Snapcart masih berkutat dengan perusahaan FMCG, Rey bilang, di masa mendatang, aplikasi ini akan bekerjasama dengan industri lain. Target jangka menengah, Snapcart akan dia kembangkan merambah regional ASEAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar